Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Jodoh Pilihan Allah

Jodoh Pilihan Allah

Oleh : Ida Hasan


Semburat jingga di langit Kota Pahlawan terlihat indah saat aku jejakkan langkah setelah enam tahun meninggalkan kota ini. Enam tahun tujuh bulan tepatnya karena harus menjalani hukuman di lapas sustik. Sabu sebanyak 10 kantong yang menjadi perantara takdir menjadikan aku warga binaan lapas.

Miris, tapi nyatanya memang inilah takdirku. Menjalani hari yang sulit pada masa awal di lapas akhirnya terlewati. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan untuk warga binaan membuat aku tergerak mengikuti pembinaan rohani di mesjid At-Taubah yang berada di lapas. Kajian agama akhirnya menjadi candu setelah sebelumnya sabu setia menemani hari-hariku.

Angkot yang kutumpangi dari terminal akhirnya tiba di ujung gang rumah peninggalan orang tuaku. Pulang ke sini merupakan pilihan terbaik karena malu menumpang pada saudar, pun ingin meninggalkan jejak masa lalu yang kelam.

Langkah kaki melambat saat mendengar suara seseorang melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran di surau, tidak jauh dari rumah orang tuaku. Tidak banyak yang berubah di sini, sungguh suasana ini sangat aku rindu.

Saat langkah sudah memasuki pekarangan rumah terlihat Bulik Darmi—adik perempuan almarhum Abahku sedang menyapu teras rumahnya.

“ Assalamu’alaikum.” Aku ucap salam dan mengayun langkah mendekatinya.

Bulik Darmi menoleh dan menangkupkan tangan ke wajahnya. Menangis. Segera kupeluk wanita yang telah ku anggap ibu sendiri.

“Windu pulang, Bulik”, ucapku lirih.

“ Alhamdulillah, ayo, masuk!.”

“Nanti tidur disini, rumah Abahmu belum dibersihkan.”

“Biar besok Windu bersihkan. Nggak ada kerjaan juga, kok.”

Keesokan harinya rumah dan warung peninggalan Umi aku bersihkan. Dengan sisa tabungan, aku membeli barang di pusat grosir untuk mengisi warung juga membeli mesin cuci untuk usaha laundry.

Perlahan usaha warung dan laundry menampakkan hasilnya. Meskipun sedikit cukup untuk menghidupiku dan tabungan masa depan.

Malam ini, aku bertandang ke rumah Bulik Darmi. Sengaja tadi membeli martabak manis untuk dinikmati bersamanya, tidak enak juga makan sendirian di rumah.

“Windu, kamu nggak ada niat untuk berumah tangga lagi?.” Tiba-tiba Bulik melontarkan pertanyaan.

Aku menghirup napas panjang melepas sesak yang tiba-tiba menghimpit dada. “Belum mikir itu, Bulik. Lagian siapa juga yang mau?” jawabku sambil tertawa kecil.

“Jangan begitu, kamu laki-laki yang baik. Perceraian yang menyebabkan frustasi dan akhirnya terjerumus pada narkoba.”

Benar apa yang dikatakan Bulik Darmi. Nyatanya aku memang terlalu mencintai Riska sehingga saat tahu dia berselingkuh dunia benar-benar terasa berakhir. Rasanya sakit sekali dan narkoba menjadi pelarian untuk melupakan pengkhianatannya.

“Biar Allah yang mendatangkan jodoh untuk Windu, Bulik.”

“ Kalau kamu nggak mau membuka diri dan berusaha, nggak mungkinlah ada perempuan datang dan langsung minta dinikahin.”

“Kalau Bulik punya calon, InsyaAllah Windu setuju dengan pilihan Bulik” ujarku mencoba meredakan kegundahannya.

“Yakin kamu, Win?”

“Iya, kalau sekiranya baik, kenapa tidak?.”

“ Ya, sudah sana pulang, Bulik mau tidur.”

Setelah memastikan Bulik mengunci pintu rumahnya segera aku kembali ke rumah Abah yang hanya berjarak beberapa langkah saja.

Pagi nan sejuk dengan angin semilir menambah kenikmatan sarapan meskipun dengan menu sederhana pemberian Bulik. Secepatnya aku tandaskan nasi yang dilengkapi dengan urap dan tempe goreng. Segelas teh panas yang aku buat sebelum sarapan membuat tubuh ini semakin bersemangat.

“Bulik, Windu mau kulakan dulu. Piringnya Windu pulangin nanti, belum dicuci” ujarku setengah berteriak dari teras rumahnya.

Bulik keluar dari dapur membawa piring yang berisi singkong rebus. “Makanya cepet nikah, biar ada yang ngurusin. Nyuci piring satu saja masih nanti-nanti.”

Aku tergelak mendengar celoteh Bulik Darmi. “Windu berangkat, Bulik”

Motor butut peninggalan Paklik Parto—suami Bulik yang kutunggangi akhirnya mengantarku sampai pusat grosir. Belum terlalu ramai sehingga aku leluasa berjalan dan memilih barang.

Suara troli yang beradu mengagetkanku. “Maaf” Ujarku singkat dan segera menggeser troli.

“Mas Windu?”

Aku menoleh dan menatap perempuan yang berada di depanku. Meskipun saat ini penampilannya berubah tapi mata, hidung, dan bibir itu tidak bisa aku lupakan juga suaranya ... iya, suara yang selalu terdengar lembut nan manja saat berbincang dengan pria selingkuhannya itu masih ku ingat dengan jelas.

“Riska, maaf, saya duluan.” Setelah itu segera kudorong kembali troli dan menuju kasir. Beruntung saat tiba di kasir, aku langsung dilayani karena belum ada yang mengantri.

Dengan langkah panjang aku langsung menuju tempat parkir dan menyalakan motor. Suara motor yang meraung sepanjang jalan menuju rumah seolah menggambarkan suasana hatiku yang sedang marah. Entah marah pada siapa, Riska atau mungkin juga takdir.

Terlihat Bulik menghampiriku sesaat setelah aku memarkir motor. Beliau selalu membantuku menata barang kulakan. Harus aku akui sentuhannya membuat daganganku terlihat menarik.

“Kok, sedikit belanjanya, Win?”

“Iya, Bulik.”

“Kenapa? Belum ada duit atau ada masalah lain?”

Ah, Umi dan Bulik sama saja. Selalu bisa menebak kalau aku ada masalah. “Tadi, ketemu Riska, Bulik.”

“Tambah cantik dan salihah, kan?”

Aku menautkan kedua alis mendengar kata salihah yang diucapkan Bulik. “Ada gitu tukang selingkuh yang salihah?”

“Jangan melihat masa lalunya, Riska sekarang sudah berubah sejak bercerai dengan suaminya.”

Aku tercengang mendengar penjelasan Bulik Darmi. Tidak menyangka nasib pernikahan Riska dengan lelaki yang diidamkannya ditengah pernikahan kami dulu.

“Bagaimanapun juga, Riska sudah membuat luka di hati.”

“Sebenarnya Bulik mau membicarakan masalah ini dari kemarin. Bagus kalo kamu sudah ketemu Riska paling tidak bisa dipertimbangkan.”

“Maksud, Bulik?”

“Semalam, kan, Bulik nyuruh kamu cepat nikah. Sebenarnya Bulik punya calon. Arika, anak Pak Kadir atau Riska.”

“ Arika? Bukannya Arika sudah menikah?” tanyaku

“Iya, tapi bercerai karena suaminya poligami.”

“Ah, Bulik bercandanya keterlaluan.”

“ Bulik, nggak bercanda.” Wajah Bulik terlihat serius menatapku.

“Pendidikan dan pekerjaan Arika sebagai perawat di rumah sakit jangan disepelekan. Sementara saya? Ah, mantan napi dan mantan pengguna narkoba yang ditinggal selingkuh” jawabku sambil tertawa. Iya, menertawakan nasib yang tidak pernah berpihak padaku.

“Jangan rendah diri. Kalau memang belum punya calon, mungkin dua orang ini bisa kamu pertimbangkan.”

Bulik Darmi melangkah keluar setelah selesai menata barang. “Pikirkan lagi, Win. Bulik sudah tua, siapa yang akan mendampingimu kalau Bulik sudah pulang?”

“Nanti Windu pikirkan” jawabku sambil memeluknya.

Tiga purnama aku melewati hari setelah pembicaraan dengan Bulik Darmi tentang Riska dan Arika. Do’a selalu aku langitkan dalam sujud di sepertiga malam. Tahajud dan istikharah rutin aku lakukan untuk menentukan pilihan.

Setelah salat Shubuh aku hendak membuka warung tapi ada Bulik di teras rumah. “Bulik, kenapa?” tanyaku cemas melihatnya pucat dan badannya panas. Segera aku nyalakan motor dan ku bawa Bulik ke rumah sakit.

Bersyukur setelah sampai di UGD Bulik langsung ditangani dokter dan perawat jaga. Mungkin suatu kebetulan, ternyata Riska piket di UGD dan membantu dokter memeriksa Bulik. Setelah memeriksa suhu, tekanan darah dan mengambil sampel darah dokter meminta untuk menunggu hasil laboratorium.

Beberapa menit berlalu, terlihat diujung ruangan Arika sedang berjalan menuju ke arah kami. “Mas Windu, alhamdulillah hasil laboratorium Bu Darmi bagus. Tidak ada masalah, kelelahan saja. Bu Darmi boleh rawat jalan” ujarnya sambil menyerahkan hasil laboratorium dan obat yang harus diminum padaku. Kami pun pulang dengan lega.

Beberapa kali Arika mengunjungi Bulik, memeriksa kondisi kesehatannya. Mungkin ini jalan yang Allah pilih dengan perantara Bulik sakit akhirnya aku dan Arika bisa bertemu dan memulai komunikasi termasuk rencanaku untuk melamarnya.

“Bulik, sudah sehat?” tanyaku saat Bulik duduk di kamar tidurnya.

“Alhamdulillah, mungkin akan lebih sehat kalau kamu segera menikah” jawabnya sambil tersenyum.

“Kalau gitu, tolong lamar Arika Bulik.”

Bulik menangis dan memelukku. “Alhamdulillah, Bulik bahagia.”

Dengan persiapan singkat kami berangkat ke rumah keluarga Arika. Nampak Arika dengan gamis warna merah muda yang dipadu dengan jilbab senada. Tidak disangka niatku untuk melamar berbuah manis. Tidak hanya lamaranku saja yang diterima pihak keluarganya tetapi tanggal pernikahan pun ditentukan dua minggu yang akan datang.

“Sesuatu yang baik harus disegerakan. Windu dan Arika sudah dewasa dan sama-sama pernah mengalami masa sulit. Semoga pernikahan ini menjadi yang terbaik untuk kalian berdua. Abah dan Umi ridho, semoga Allah pun meridhoi pernikahan ini nanti.” Do’a dan harapan Pak Kadir—Abah Arika-- diaminkan sanak keluarga yang hadir di acara ini.

“Seneng boleh seneng tapi jangan berpandangan terlalu lama, belum halal” kelakar Bulik Darmi dan berhasil membuat kami tersipu malu.

Aku bersyukur telah diberi kebahagian yang paripurna. Semoga Arika menjadi jodoh yang Allah pilihkan untukku, dunia dan akhirat.

Pamekasan, 6 Desember 2020

Bionarasi


Ida Hasan, Ibu dari tiga orang anak yang hobi membaca dan belajar merangkai kata agar bisa menghasilkan karya untuk dinikmati. Belajar dan berkarya, semangat yang ingin ditularkan kepada putra putrinya. Aktif di FB dengan akun Ida hasan dan bisa menghubungi di No WA 082335509797.




































Posting Komentar untuk "Jodoh Pilihan Allah"