Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

TAKDIR TIDAK PERNAH SALAH


Takdir Tidak Pernah Salah

Oleh : Ida Hasan

Rasa bahagia membuncah saat aku dipanggil oleh sipir lapas dan mengabarkan jika ada tamu untukku. Langkah kaki aku ayun agar cepat sampai ke ruang kunjungan.

Di ujung ruang kunjungan aku lihat Bagas—sepupuku dan Dinda—istriku sedang duduk di kursi yang terletak di dekat pintu masuk khusus untuk tamu.

Sesaat mataku terpaku pada Dinda yang tengah berbincang dengan Bagas. Betapa aku merindukan perempuan yang sudah 5 tahun mendampungiku. Rasa bersalah memenuhi dada mengingat sudah sepuluh bulan Dinda aku tinggalkan untuk menjalani hukuman di lapas sustik ini.


Mengetahui kedatanganku, Bagas dan Dinda segera menghampiri. Ingin aku peluk Dinda tapi apa daya, meja besar dan panjang ini menghalangiku untuk memeluknya sekedar melepas rindu.

Beberapa saat hanya hening yang tercipta diantara kami sampai Bagas memulai pembicaraan. “Apa kabar, Mas? Ehm, begini, aku minta ijin untuk menikahi Dinda."

Aku tatap Bagas dan Dinda, mencoba mencari jawaban atas kalimat yang diucapkan Bagas. Tidak kutemukan jawaban selain rasa muak dan benci pada mereka berdua.

"Maksudnya apa ini? Dinda istriku, bagaimana mungkin kamu mau menikahinya?” tanyaku dengan suara bergetar. Rasanya bagai tersengat listrik ribuan volt.

Dinda terlihat gugup, terlihat keningnya berkeringat sementara ruangan ini sejuk meskipun tanpa pendingin ruangan karena sirkulasi udara yang baik dan dikelilingi taman dan pohon besar nan rindang

Dinda meremas jari tangannya. "Ma-maaf, Mas. Aku ingin kita berpisah baik-baik. Aku ingin melanjutkan hidup tanpa bayang-bayangmu lagi. Tolong, ceraikan aku" pintanya.

Remuk redam hatiku saat ini. Sungguh, saat aku diberi tahu bahwa ada yang mengunjungi, rasa bahagia seolah hanya milikku. Namun sekarang rasanya seperti..ah, entahlah.

Seolah kepingan puzzle yang terburai, aku mengingat potongan peristiwa beberapa waktu terakhir. Kak Nana pernah menyampaikan kecurigaannya pada sikap Dinda yang akrab dengan Bagas. Tapi semua aku tepis karena Bagas adalah sepupuku dan dia memang cepat dekat siapapun.

Tanpa berpikir panjang lagi aku segera memenuhi permintaan Bagas dan Dinda.

"Baiklah, mulai saat ini Dinda Prameswari binti Gunadi aku ceraikan kamu".


Sekilas aku perhatikan Dinda, tampak air mata di ujung matanya. Mungkinkah itu tangis kesedihan? Ah, bukankah perpisahan ini adalah kemauannya.

"Terima kasih, Mas. Maaf, jika selama menjadi istrimu aku banyak melakukan kesalahan".

"Jika tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku mau kembali ke blok. Kalian pulanglah!" pintaku.

Tanpa memedulikan kedua penghianat yang sedang jatuh cinta itu, aku meninggalkan ruang kunjungan. Langkah kaki sengaja aku percepat agar segera sampai ke blok dan menenangkan pikiran.

"Kamu, kenapa? Wajah ditekuk kaya baju nggak disetrika, kusut". Ardi menggodaku.

Aku mengusap wajah dengan kasar. " Ah, lagi suntuk, nih." Detik berikutnya aku duduk di karpet yang menjadi alas tidurku.

Ardi duduk disebelahku dan menepuk punggung. "Baru dapat kunjungan sudah suntuk, bagilah oleh-olehnya."

"Oleh-oleh apa? Istriku minta cerai".

"Serius, nih, bro?"

"Iya"


"Nasib kita menjadi warga binaan lapas, salah satunya siap ditinggalkan orang tercinta. Sabar, bro. Ini salah kita juga, kan?. Kita salah langkah dengan menikmati narkoba dan ini harga yang harus kita bayar". Ardi mencoba menguatkan.

Beberapa saat kemudian terdengar adzan dari mesjid yang berada di area lapas. Segera aku raih sarung yang terlipat di tumpukan baju dan mengayunkan langkah menuju mesjid. Mungkin dengan sholat dan berdo'a aku bisa lebih sabar dan ikhlas dengan semua yang terjadi.

****************

Puluhan purnama sudah aku lalui di dalam lapas dengan penyesalan yang tak berujung. Hari ini adalah hari dimana aku bebas tanpa dijemput keluarga. Aku ayun langkah melewati pintu besi yang tinggi nan kokoh dan menuju terminal bus.


Setelah empat jam berada di dalam bus ekonomi yang panas dan sesak, akhirnya sampai juga di kota yang telah menjadi bagian dari jalan hidupku, kota pahlawan.

Kembali ke rumah mendiang Abah adalah pilihan terbaik, selain mengubur kenangan dengan Dinda aku juga berkeinginan meninggalkan lingkungan yang telah membawaku pada dunia narkoba.

Membuka toko kelontong yang dulu dikelola mendiang ibu menjadi rencana untuk menghidupi diriku sendiri karena pernikahanku dengan Dinda belum dikaruniai anak.

Setelah satu minggu aku membersihkan rumah dan berbelanja untuk mengisi dagangan di toko, akhirnya hari ini aku resmi memulai usaha.

Sebenarnya hati ini belum siap karena rasa rendah diri dan kekhawatiran yang berlebihan karena status sebagai mantan warga binaan lapas narkotika selalu saja menghampiri tetapi aku coba untuk menyingkirkan itu.

"Bismillahirrahmanirrahim", aku ucap do`a semoga ini menjadi langkah pertama dan menjadi jalan untuk membuka pintu rejeki. Beruntung aku memiliki kerabat yang selalu menguatkan. Pakde Yatno dan Bude Siti beliau tinggal di sebelah rumah, sungguh bersyukur ada kerabat yang masih perduli padaku.

"Masih siang begini, kok, sudah ditutup tokonya?" tanya bude Siti.

Aku menoleh dan menyunggingkan senyum. "Mau kulakan, Bude" jawabku singkat.

"Bude, mau kemana? Kok rapi bener?" tanyaku karena penasaran melihat bude memakai baju kurung.

"Ah, ini mau pengajian ke masjid."

"Sekalian bareng Bude" ajakku pada perempuan setengah baya ini.

"Alhamdulillah, nggak capek-capek jalan. Tunggu sebentar, Bude pamit dulu.”

Sesampai di halaman masjid bude turun dari motor dan menghampiri seorang perempuan muda teman pengajiannya. Muda, cantik dan senyumnya menawan. "Andai aku masih bisa berharap, mungkin aku berharap jatuh cinta padanya" batinku lirih. Namun harapan itu segera aku tepis karena lagi-lagi ingat status diri ini hanya seorang mantan warga binaan lapas.




Selesai berbelanja di toko grosir aku sengaja mengulur waktu untuk pulang agar bisa bersamaan dengan selesainya pengajian dan bisa bertemu teman pengajian bude Siti. Entahlah, meskipun berusaha untuk tidak memikirkan perempuan tadi, nyatanya senyumnya tadi jelas terukir di mataku.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, aku tiba di masjid tepat disaat pengajian selesai. Aku lihat bude Siti berjalan beriringan dengan perempuan tadi. "Ah, kenapa jantung ku berdebar kencang?"

"Bude" panggilku pada perempuan yang beranjak meninggalkan halaman masjid.

Bude Siti menoleh dan senyumnya terkembang saat melihatku. "Bude jalan saja, ini ada Rini yang menemani Bude".

" Wah, bisa-bisa Windu kena marah Pakde nanti" jawabku asal, padahal hanya alasan ingin tahu siapa perempuan yang sudah menghadirkan getaran di dada ini.

Bude Siti dan perempuan yang memiliki nama Rini tertawa mendengar jawabanku. Ah, senyumnya benar-benar manis.

Segera aku berjalan sambil mendorong motor yang penuh barang kulakan. Terlihat konyol memang tapi demi mengenal Rini lebih jauh, tidak mengapa sedikit lelah. Bukankah cinta butuh pengorbanan. Cinta? Aku jatuh cinta? Entahlah...

Setelah sampai di depan rumah kami berpisah. Aku perhatikan Rini terus berjalan dan masuk ke rumah pak Harun.

"Kok, bengong, Win" Suara bude Siti mengagetkanku.

"Ah, iya, Bude. Kenapa Rini masuk ke rumah Pak Harun?"

"Loh, Rini kan anak bungsu Pak Harun. Ya, wajarlah kalau tinggal di rumah itu.”

"Rini...yang dulu kecil itu?.”

"Iya, dulu kecil. Sekarang, sih, pantas punya anak kecil Cuma belum ketemu jodoh” seloroh Bude Siti.

Setelah mendapat penjelasan dari Bude rasa yang tadi menggelora sekarang hilang seketika. Rini, ternyata anak Pak Harun—tokoh ulama di kampung ini. "Mana mau Rini dan keluarga besarnya menerimaku?" batinku.

"Kenapa, Win?, kok, bengong lagi?"

"Ah, nggak apa-apa, kok. Windu masuk dulu, Bude."

Hari berlalu, aku semakin disibukkan dengan usaha toko. Saat ini aku mulai menata diri untuk bisa bersosialisasi dengan warga sekitar. Sebelumnya hanya berkutat di toko sekarang sudah berani mengikuti pengajian di masjid. Untuk masalah yang lain termasuk jodoh semua aku pasrahkan pada ketentuan Allah.

Terdengar suara salam saat aku membukukan pengeluaran toko. Saat ku lihat ternyata Bude Siti.

"Waalaikumsalam. Masuk, Bude!."

"Sudah, sebentar saja, kok. Ini ada pisang goreng buat camilan sore”

Setelah meletakkan piring berisi pisang goreng aku minta bude Siti untuk duduk dan aku menceritakan ketertarikanku pada Rini yang semakin mengakar sekaligus rasa rendah diri yang enggan pergi.

Bude mengelus lembut pundakku. "Biar Bude bicarakan sama Pakdemu nanti, selebihnya kamu berdo'a, ya."

Satu bulan setelah pembicaraan dengan bude Siti aku tidak pernah membahasnya lagi. Aku coba mengubur rasa yang tumbuh pada Rini, gadis yang berwajah manis karena sadar siapa diri ini.

Selama itu, aku masih setia dengan usaha toko yang semakin nyata hasilnya. Namun sore ini, aku seperti tengah berada di tengah gurun dan tiba-tiba hujan ditingkahi petir yang menyambar. Bude Siti dan Pakde Yatno datang ke rumah dan mengajak untuk bersilaturahmi ke rumah Pak Harun.

"Windu nggak salah dengar, Pakde?"

Pakde dan Bude tersenyum dengan mendengar pertanyaanku. "Nggak, ini beneran" jawabnya singkat.

"Tapi Windu belum siap mental untuk menemui keluarga besar Rini. Takut ditolak. Windu, kan, cuma... "

"Kalau perasaan itu kamu pelihara terus, kapan kamu akan berubah lebih baik? Kita datang nanti malam atau tidak sama sekali."

Akhirnya ba'da sholat isya' kami pun berkunjung ke rumah Pak Harun. Ternyata disana sudah menunggu Pak Harun dan keluarga besarnya. "Pasti pertemuan ini sudah direncanakan sebelumnya oleh Pakde dan Bude" batinku.

Seolah menunggu putusan hakim yang akan menjatuhkan vonis ketika menunggu jawaban dari Rini. Keringat bercucuran dengan deras. Perasaan malu dan yakin ditolak sudah merajai hatiku. Sedikitpun aku tidak berani mengangkat wajah sampai saat Rini berbicara menyampaikan jawabannya atas lamaranku yang disampaikan oleh Pakde Yatno.

"Bismillah, saya terima lamaran Mas Windu. Rini mohon do'a restu Abah dan Umi."

Detik berikutnya Pak Harun menyampaikan bahwa akad nikah akan dilaksanakan esok pagi secara agama dan akan didaftarkan ke KUA secepatnya. Tiada kata yang layak untuk aku ucapkan selain ucap syukur atas rahmatNya setelah ujian yang bertubi-tubi akhirnya malam ini aku menemukan muara cinta terakhirku.



Bionarasi

Ida Hasan, ibu rumah tangga dengan tiga orang anak yang bercita-cita untuk menorehkan karya diantara rangkain aksara. Semoga bisa menjadi cerita yang memberikan renungan bahwa takdir Allah itu yang terbaik dan kita manusia hanya bisa berencana.

Aktif di FB dengan akun Ida Hasan atau bisa menghubungi di 082335509797

Posting Komentar untuk "TAKDIR TIDAK PERNAH SALAH"