Ketika Siswa Mengajarkan Kesabaran : Refleksi Pembelajaran di Kelas
seputar dunia pendidikan - Refleksi Pembelajaran. Dalam konteks pendidikan, guru sering diposisikan sebagai sumber utama pengetahuan dan keteladanan. Namun praktik di lapangan menunjukkan bahwa proses belajar berlangsung dua arah. Ada saat-saat tertentu ketika guru justru memperoleh pelajaran paling berharga dari perilaku muridnya. Peristiwa sederhana di kelas dapat menjadi refleksi mendalam tentang hakikat belajar dan pentingnya empati dalam interaksi pendidikan.
Pada suatu pagi, kelas saya berada dalam kondisi yang lebih riuh dibanding biasanya. Murid-murid tampak penuh energi, saling berbicara, dan bergerak tanpa pola. Di antara keramaian itu, seorang murid tampak menonjol. Ia mondar-mandir, mengetuk meja, mengganggu temannya, dan menunjukkan perilaku tidak fokus yang sering dikategorikan sebagai off-task behavior. Dalam banyak literatur pendidikan, perilaku seperti ini sering diperhatikan sebagai tanda gangguan konsentrasi atau kebutuhan akan regulasi diri.
Saya memanggil namanya dengan nada terukur, mencoba menerapkan prinsip komunikasi yang positif. Namun responsnya minim. Ia hanya menoleh sejenak lalu kembali melakukan aktivitasnya. Pada titik ini, saya sempat merasa bahwa ia sengaja menentang aturan kelas. Sebuah pemikiran yang, jika tidak dikendalikan, dapat membawa guru pada kesimpulan yang keliru.
Setelah beberapa menit, ia akhirnya duduk. Lalu muncul kalimat yang mengubah seluruh perspektif saya terhadap situasi tersebut.
“Pak… saya cuma ingin teman saya senang. Soalnya dari tadi dia sedih.”
Pernyataan sederhana itu menyingkap sesuatu yang tidak terlihat: intensi prososial. Dalam psikologi pendidikan, perilaku prososial adalah tindakan yang dilakukan seseorang untuk membantu atau meningkatkan kesejahteraan orang lain. Murid tersebut tidak sedang mencari perhatian, melainkan menunjukkan empati terhadap temannya.
Di momen itu saya menyadari bahwa kesabaran bukan sekadar kemampuan menahan diri, tetapi kemampuan memahami konteks emosional di balik sebuah perilaku. Guru tidak hanya perlu melihat apa yang murid lakukan, tetapi juga mengapa ia melakukannya. Inilah inti dari pendekatan pembelajaran yang humanis—sebuah pendekatan yang menempatkan murid sebagai individu yang memiliki emosi, motivasi, dan kebutuhan sosial.
Peristiwa kecil tersebut memberi saya pelajaran penting: bahwa kelas bukan hanya ruang untuk menyampaikan materi, tetapi juga ruang untuk belajar memahami manusia. Setiap perilaku murid membawa pesan implisit tentang kebutuhan emosionalnya. Ketika guru mampu membaca pesan itu, hubungan pedagogis menjadi lebih kuat, dan proses belajar menjadi lebih bermakna.
Sebelum pulang, murid itu menghampiri saya dan berkata,
“Pak, temannya sudah senyum. Jadi saya sudah tenang.”
Kalimat itu menegaskan bahwa ia merasa bertanggung jawab terhadap kebahagiaan temannya. Dan hari itu, saya menutup catatan refleksi dengan satu kesimpulan:
Guru mengajar dengan ilmu, tetapi sering kali belajar dengan hati.
Murid datang bukan hanya untuk menerima pelajaran, tetapi juga untuk memberikan pelajaran yang tidak tertulis di buku mana pun.

Posting Komentar untuk "Ketika Siswa Mengajarkan Kesabaran : Refleksi Pembelajaran di Kelas"